Dendam
Sejarah
“ Kenapa kau
menulis, Fajar ?”
“ Dendam,”
jawab Fajar.
“Dendam ?”
Fauzi tanya keheranan.
“ya,dendam
sejarah. Sewaktu aku kecil dulu,
aku suka
sekali membaca. Membaca apa saja. Setiap selesai membaca, aku selalu bertanya
soal kenapa aku lebih kenal gagasan dari penulis buku yang ku baca dari pada
gagasan kakek ku sendiri? misalnya, kenapa aku lebeh kenal Albert Einstien,
Pablo Neruda, Pramoedya Ananta Toer, atau yang lainnya yang bukan siapa-siapa
buatku dari pada kakekku sendiri yang jelas-jelas mewariskan gen kehidupan buatku.”
Fauzi masih
heran pada jawaban fajar. Fajar menyesap tehnya.
“Ternyata,
sebabnya satu, Fauzi “ Fajar melanjutkan. Fauzi masih serius memperhatikan.
“Apa itu ? “
Tanya fauzi.
“Sebab
mereka semua menulis, sementara kakekku tak sempat meninggalkan selembar
tulisanpun semasa hidupnya. Sejak itulah, aku memendam dendam. Aku tak mau
kelak cucuku, atau orang-orang terdekatku lebih mengenal siapa orang lain
dibanding kakeknya sendiri. Aku tau apa yang dipikirkan Einstein muda, tapi aku
tak tahu apa yang dipikirkan kakekku waktu ia masih muda. kami tak sempat
bertemu, kakekku meninggal sebelum ia sempat bercerita banyak pada ku.”
Fauzi
tersenyum.”hahahha, kau memang serius sejak kecil, Fajar “
Fajartertawa
.“aku memang serius soal itu,” lanjutnya .
Fauzi
membenarkan letak duduknya. Lalu,menyeruput kopinya. “ apa yang mau kamu
tuliskan Fajar?”
“Apa saja .
apa saja yang berguna.”
“Misalnya ?”
“Aku ingin
menceritakan hari-hari yang mungkin menjadi hari-hari terakhir ku ……. ” sebelum
Fajar menyelesaikan pembicaraannya , Fauzi memotong, “ jangan bilang begitu
dong!” katanya agak memelas.
“ Tak apa ,”
lanjut Fajar.” Kenyataannya memang begitu, kan?” sambungnya sambil tersenyum.
Fauzi tak
bisa berkata apa-apa lagi. Iya menyandarkan punggungnya dikursi.
” Terserah
kau sajalah.”
Fajar
tersenyum.” Aku mungkin akan menceritakan hari-hari yang mungkin saja akan
menjadi hari-hari terakhirku. Hari-hari yang paling penting dan luar biasa
dalam hidup ku..”
Fauzi mengkerutkan
dahinya.
“ya,”lanjut
Fajar, “hari-hari saat aku mulai sangat bahagia menjalini hidup ini, mulai
ketika tanggal 28 oktober 2011 ketika aku menyatakan cinta kepada seorang
wanita, dan ia menyambut cintaku itu. Hari-hari saat benar-benar aku merasakan
memiliki seorang kekasih yang sangat mencintaiku dan aku pun sangat
mencintainya. Hari-hari saat aku menikmati kehidupan dalam degup jantung yang
benar-benar aku hayati. Saat-saat ketika kau tahu bahwa kau tidak sendirian
menjalani hal yang terberat yang menimpa hidupmu.
Aku ingin
membagi semua itu, aku ingin semua orang tahu. Setidaknya, aku ingin orang yang
mungkin mengalami nasib yang serupa dengan hidupku, atau lebih buruk, tidak
mengutuki takdirnya. Mengumpat kesal pada sesuatuyang menimpa dirinya, dan
menyusahkan orang-orang disekelilingnya. Aku ingin mereka mengerti bahwa sakit
adalah sesuatu yang harus dirasakan, dirasakan sampai dalam, bukan di tolak..
Tapi,aku
tidak boleh menyerah. Aku harus melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan.
Dan, ku pikir, aku bisa menulis. Membagi perasaan dan gagasan ku,
mendokumentasikan, dan membuat semua orang tau. Itulah kesadaran sejarah.
Setidaknya menurutku.”
“Kesadaran
sejarah ?” tanya Fauzi.
”Ya,
kesadaran yang mendorong kita bertanggung jawab pada masa lalu, masa kini, dan
masa depan.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin
bertanggung jawab pada ,masa lalu sebab dimasa lalu ada orang-orang yang
menyayangiku, merawatku dan membahagiakanku, maka aku tak mau menyisakan
kehidupan yang tak berguna—setidaknya dimata mereka.
Aku juga
ingin bertanggung jawab pada masa kini, pada orang-orang yang menyayangiku dan
aku sayang pada mereka pada siapa saja, aku tidak mau menjadi pemeran figuran
dalam kehidupanku sendiri. Aku harus melakukan hal penting yang berguna,
setidaknya bagi diriku dan orang-orang disekitarku.”
Fauzi
tertawa,”Kau benar!”
Fajar
tersenyum..
“Lalu
bertanggung jawab pada masa depan?” Tanya Fauzi
“Seperti
yang kita bincangkan. Aku tak ingin dilupakan sejarah.”
“Ya,ya,”
Sahut Fauzi sambil menunjuk Fajar, “Kau memang jagonya.”
Mereka
tertawa.
Malam itu
purnama, tapi udara dingin sekali.
Fauzi dan
Fajar menghabiskan waktu berdua saja.
semalaman
suntuk, Seperti biasa mereka membicarakan tentang masing-masing kekasihnya dan
mengobrolkan apa saja.
Komentar
Posting Komentar