BOHONG
Kau pernah berbohong?Aku pernah. Bahkan, mungkin sering. Bila kau tanyakan pada siapa(saja) aku pernah berbohong? Aku tidak bisa mengingatnya lagi.
Ingatan kita selalu pendek dengan kealpaan, bukan? Dan kapankah pertama kalinya aku berbohong? Aku juga tidak ingat kapan persisnya, tapi itu aku lakukan pada ibuku, disuatu sore yang membuat dadaku berdebar dan tubuhku gemetar.
Ibu melarangku main disawah. Sejujurnya, dengan alasan yang tidak bisa aku terima dan tak sepenuhnya aku mengerti. Tapi, teman-temanku semuanya main disawah; memburu layang-layang, bermain lumpur, atau sekedar menyusuri pematang. Dan, aku terkucil karena berhari-hari menolak ajakan mereka bermain kesana. Aku teguh pada yang dipesankan Ibu, tetapi pilihan itu adalah pilihan yang (men)sulit(kan).
"Ah, banci!" kata temanku mengejek.
"Tapi, Ibu melarangku main disana!"
"Ayolah, Ibumu nggak akan tahu, kan?"
Ya, Ibu tak akan tahu sekalipun aku menyelinap keluar untuk bermain lumpur disawah. Ibu tidak pernah kemana-mana selain dirumah.
Maka aku putuskan melampaui "Batas" yang Ibu buat untukku. Diam-diam aku menyelinap keluar, dan memandang sawah yang tebentang. Seorang teman menarik tanganku, "Ayo kita mencuri tomat!" katanya.
Mencuri? Aku baru saja melakukan kesalahan pertama, haruskah kesalahan kedua segera menyusul? Ruanya memang begitu. Sekali pintu kesalahan terbuka, Pintu lainya akan menggoda. "Aku tak ingin mencuri tomat!" ucapku smbil mengikuti temanku si pencuri tomat. "Ayolah, sekali saja," Katanya sambil terus berlari, menyunggingkan senyum mengejek dibibirnya--seperti seseorang yang berkata, Kau laki-laki pengecut!
Lalu dengan dada yang berdebar, aku pun mencuri tomat.
?
Berkali-kali, aku menembus sawah, berkali-kali aku mencuri tomat. Dan kini kami harus pulang melewati batas senja karena kami ketahuan oleh paman penjaga petak tomat ketika kami sedang (berusaha) mencurinya: Kami harus menghadapi sidang susila di depan gubuk paman penjaga tomat!
"Oh, jadi kalian yang suka mencuri tomat!?" bentaknya pada kami. Dadaku berdebar hebat. Andai saja bisa kuakali waktu, aku ingin menolak ajakan temanku dulu untuk melanggar pesan Ibu. Andai saja bisa aku putuskan nadi waktu.
"Bukan, bukan,paman. Kami bukan pencuri. Kami hanya mengambil tomat yang sudah busuk untuk bermain perang tomat."
Salah seorang teman ku membela diri.
"Ah, alasan!" katanya. Aku akan melaporkan kalian kepada orang tua kalian masing-masing!"
Deg! Tiba-tiba, dadaku sesak napas. Aku tak mau melukai perasaan Ibuku. Aku tak mau membuat Ayahku malu. Ah, andai saja bisa kuakali waktu. Aku menyesal sedalam-dalamnya. Ah, tetapi penyesalan hanya orang suci yang entah kemana pergi kemana ia sebelumnya.
Setelah berjanji tidak akan mencuri lagi, kami dilepaskan dengan sebuah ancaman; kalau sekali lagi mencuri tomat, paman penjaga tidak akn segan-segan melaporkan kami kepada orang tua kami masing-masing.
?
Menjelang Adzan isya, Kami baru pulang kerumah masing-masing Dan, Ibu marah kepadaku.
"Kamu kemana saja?' Tanya Ibu.
"Main, Bu," Jawabku agak lesu.
"Main dari mana jam segini baru pulang?"
"Eh... mmm... dari rumah Bayu." Tiba-tiba aku mendapati diriku menjadi pembohong yang hebat. Ah, dadaku kembali berdebar tidak karuan. Aku bohong lagi pada Ibu.
"Kenapa pulangnya malam begini?"
"Eh... mmm... ya main saja, keasyikan. aku mau mandi, ya, Bu?"
"Ya."
Sore itu, aku jadi pembohong hebat. Aku tak tahu apakah bohong semacam itu mendapatkan dosa yang utuh? Aku tidak berbohong, aku hanya tidak mengatakan yang sebenarnya, atau aku hanya mengatakan sebagianya saja. Aku pikir, TUhan tahu kalau kebohonganku kali ini adalah kebohongan untuk menjaga perasaan Ibu, dan kebohongan seperti itu, ada sedikit kebaikanya. Tapi, apakah malaikat tahu bahwa kebohongan yang dilakukan demi menjaga perasaan orang lain harus mendapat diskon karena ada sisi baiknya? Mudah-mudahan malaikat tahu.
Sejak, saat itu aku terbiasa berbohong. Bahkan aku tidak ingat soal kebohongan apa saj yang telah aku lakukan. Hanya, pikirku, kebohongan-kebohongan yang aku lakukan cenderung bisa dimaafkan. Misalnya, Sewaktu kelas 3 SD, aku berbohong pernah pergi ke Jakarta ketika ibu guru bertanya siapa yang pernah pergi ke Jakarta. Semua teman sekelasku mengacungkan tangan. Kecuali aku. Maka dengan terlambat akupun ikut mengacungkan tangan. Mungkin kebohongan seperti itu dosanya sedikit, karena sebenarnya, Ibu gurulah yang bersalah, karena menanyakan pertanyaan yang bisa membuat anak muridnya malu? Atau mungki sebenarnya begini; mengapa membuat pertanyaan yang mungkin membuat sebagian muridnya berbohong? Semua murid mengacungkan tangan, dan pada saat itu aku tak tahu siapa saja yang berbohong sepertiku?
Tapi, rupanya kebohongan tak akan membiarkan aku lolos begitu saja. "Fajar, Ke Jakarta kemana?" Tanya Ibu guru. Ah, aku tidak mungkin menjawab tidak tahu, kan? Aku ingat pernah menonton siaran soal Taman Impian Jaya Ancol. "Ke Ancol, Bu!" jawabku.
"Wah, aku juga pernah kesana!" sahut Akbar.
"kamu naik Bianglala, kan?"
"Iya, dong!" jawabku yang semakinfasih berbohong."Asyik, ya?"
"Iya!"
Ah, Kebohongan-kebohongan itu semakin tak lepas dari diriku. Sejak itu, aku jadi tahu, kebohongan yang sekecil apapun, meski sudah di diskon karena kita melakukanya untuk menjaga perasaan orang lain--atau perasaan sendiri-- tetap bisa menjadi besar karena jumlahnya yang banyak.
Kebohongan tidak bisa dihentikan. Aku tahu itu setelah aku dan Akbar selasai mengobrol panjang tentang Jakarta dan Taman Impian Jaya Ancol yang hanya aku lihat di televisi pada saat itu.
?
Kali ini, aku berbohong. Kebohongan yang kecil, sebenarnya. Tetapi kusadari merupakan bagian yang tersambung dari kebohongan pertamaku dulu. Aku kecewa kaarena kali ini dadaku sudah tak berdebar lagi ketika berbohong. Apakah aku sudah menjadi pembohong hebat--yang bahkan tidak akan terlacak oleh mesin kebohongan karena tak ada debar istimewa? Aku tak tahu. Aku hanya kehilangan debar itu. Debar yang tak bisa membuatku tidur semalaman dan memaksaku berjanji tak akan bohong lagi.
Kau pernah berbohong? Aku sering. Bila kau tanyakan kepada siapa (saja) pernah aku berbohong? Aku tak bisa mengingatnya lagi. Ingatan kita selalu pendek akan kesalahan-kesalahan, bukan? Dan kapan pertama kali aku berbohong? Aku juga tidak ingat kapan persisnya, tapi itu aku lakukan pada ibuku, disuatu sore yang membuat dadaku berdebar dan tubuhku gemetar. Seperti yang sudah aku ceritakan kepadamu. Bila Kau pernah berbohong, pernahkah kau di bohongi? Ah, rasanya kita tidak bisa lepas dari kebohongan-kebohongan. Berbohong-dibohongi. Kau bahkan tak tahu bahwa sejak awal tadi aku membohongimu dengan cerita soal masa laluku, bukan? Apa kau pura-pura membaca ceritaku?
Aku juga tidak tahu.
Komentar
Posting Komentar